Allah Ta’ala berfirman : ”Dan
janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain. Sukakah salah seorang
dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian
tidak menyukainya (merasa jijik). Dan bertakwalah kalian kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat : 12)
Al Hafidh Ibnu Katsir
rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dalam ayat ini ada larangan berbuat
ghibah. Dan Penetap Syariat telah menafsirkan ghibah tersebut sebagaimana
disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud[1] nomor 4874.”
Lalu Ibnu Katsir membawakan
sanadnya sampai kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ditanyakan
kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apa yang dimaksud dengan
ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :
[ “Engkau menyebut tentang
saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.” Lalu ditanyakan lagi : “Apa
pendapatmu, wahai Rasulullah, jika memang perkara yang kukatakan itu ada pada
saudaraku?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Jika memang
perkara yang kau katakan itu ada padanya maka sungguh engkau telah
meng-ghibahnya dan jika perkara yang yang kau katakan itu tidak ada padanya
maka sungguh engkau telah berdusta.” (Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4 halaman 272.
Darul Faiha dan Darus Salam) ]
Ghibah atau yang diistilahkan
ngerumpi oleh kalangan awam merupakan santapan lezat bagi para wanita secara
khusus, walaupun pria juga ada yang melakukannya. Namun wanita yang mendominasi
dalam hal ini. Di mana ada wanita berkumpul maka jarang sekali majelis itu
selamat dari membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya, temannya,
iparnya, atau bahkan suami dan orang tuanya sendiri tidak luput dari
pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa
lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap
perbuatan keji ini.
Yang menyedihkan, perbuatan
ghibah ini tidak hanya menimpa orang yang buta atau tidak peduli dengan agamanya,
bahkan juga menimpa Muslimah yang telah mengerti tentang hukum-hukum agama ini.
Di tempat pengajian mereka mendapat wejangan untuk berhati-hati dari
membicarakan aib saudaranya sesama Muslim, mereka diberi peringatan dan ancaman
untuk menjaga lisan. Namun ketika keluar dari tempat pengajian mereka tenggelam
dalam perbuatan ini dengan sadar ataupun tanpa sadar. Dan memang setan begitu
bersemangat untuk menyesatkan anak Adam, Wallahul Musta’an.
ARTIKEL TERKAIT "MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERKATA BAIK"
ARTIKEL TERKAIT "MENJAGA LISAN AGAR SELALU BERKATA BAIK"
Ghibah ini haram hukumnya dan
sangat dicerca. Ibnu Katsir rahimahullah berkata : [ Karena itulah Allah
Tabaraka Wa Ta’ala menyerupakan perbuatan ghibah ini dengan memakan daging
manusia yang telah mati, sebagaimana Dia berfirman : “Sukakah salah seorang
dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian
tidak menyukainya (merasa jijik).”
Yakni sebagaimana kalian tidak
suka/jijik untuk memakan bangkai manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian
juga tidak suka untuk melakukan ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan
ghibah ini lebih berat. Allah menyebutkan permisalan seperti ini untuk
menjauhkan manusia dari berbuat ghibah dan tahzir (peringatan) terhadap
perbuatan ini. ]
Demikian Ibnu Katsir menerangkan.
(Tafsir Ibnu Katsir 4/273)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam dalam khuthbah beliau di Mina ketika haji Wada’ mengingatkan akan
tingginya kehormatan kaum Muslimin sehingga tidak layak untuk direndahkan
dengan perbuatan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas
kalian seperti keharaman/kehormatan hari kalian ini (yakni hari Nahar tanggal
10 Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni bulan Dzulhijjah sebagai
salah satu bulan haram, -pent.).” (HR. Bukhari nomor 1739 dan Muslim nomor 1679
dari shahabat Abi Bakrah radhiallahu 'anhu)
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam juga bersabda : “Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia merendahkan
saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim yang lain haram darahnya,
kehormatannya, dan hartanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 2564 dari
shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
menceritakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam naik ke
mimbar, lalu beliau berseru dengan suara yang lantang : “Wahai orang-orang yang
mengaku beriman dengan lisannya namun iman itu belum masuk (belum sampai) ke
dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian
mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena
sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim niscaya Allah
akan mencari-cari auratnya dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka
Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya.” (HR.
Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam kitabnya
Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain 1/493. Darul Haramain)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma
suatu hari memandang ke Ka’bah lalu ia berkata : “Alangkah agungnya engkau dan
alangkah besarnya kehormatanmu, namun orang Mukmin memiliki kehormatan yang
lebih besar di sisi Allah dibanding dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/274)
Ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha
--istri yang paling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam cintai--
menjelekkan madunya, maka beliau bersegera mengingkari perbuatan ‘Aisyah. Cinta
beliau yang besar kepada sang istri tidak menghalangi beliau untuk menasehati
dan menyalahkan perbuatannya yang menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan
rasa cemburunya : “Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah, dia begini dan
begitu.” Berkata salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan
adalah Shafiyah itu pendek.”
Maka mendengar hal itu Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sungguh engkau telah mengucapkan satu
kata yang seandainya kata tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat
mencemarinya.” (HR. Abu Daid dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam
Shahih Sunan Abi Daud nomor 4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034. Al Misykat
nomor 4853, 4857. Ghayatul Maram nomor 427)
Perkataan ghibah ini memang
ringan diucapkan lisan namun berat dalam timbangan kejelekan. Kenapa tidak?
Sementara ada siksa yang secara khusus diancamkan bagi pelaku ghibah, seperti
yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : “Tatkala aku
di-Mi’raj-kan (dibawa ke langit oleh Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra’
Mi’raj, pent.), aku melewati suatu kaum (di neraka, pent.) yang mereka memiliki
kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku tersebut mereka mencakari wajah dan
dada mereka. Maka aku bertanya kepada Jibril : “Siapa mereka itu, wahai
Jibril?” Jibril menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang (ketika di dunia,
pent.) memakan daging manusia (berbuat ghibah, pent.) dan melanggar kehormatan
manusia.” (HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi
Daud nomor 4082. As Shahihah nomor 533).
Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al
Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin berkata : [
Dan di antara cabang ayat ini (surat Al Hujurat ayat 12) adalah :
1) Ghibah adalah penyebab aib
seseorang ketika ia tidak hadir. Allah menyamakan orang yang tidak hadir dengan
mayat karena ia tidak mampu untuk membela dirinya dan menolak pembicaraan
tentang aibnya. Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya dimakan
sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib (tidak berada di
tempat) tentang orang yang mengghibahnya.
2) Dalam ayat ini ada dalil
tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah :
Firman Allah Ta’ala : (Fa
karihtumuuhu), di dalamnya ada dua sisi/makna :
Yang pertama : Kalian tidak
suka/jijik untuk memakan bangkai. Maka hendaklah kalian tidak suka perbuatan
ghibah.
Yang kedua : Kalian tidak suka
manusia mengghibah kalian. Maka hendaklah kalian tidak suka untuk mengghibah
manusia.
3) Sebagaimana tidak pantas bagi
seorang hamba untuk menyebut seseorang yang telah meninggal kecuali
kebaikannya, maka demikian pula sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari
kalangan Muslimin kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di
hadapannya.
(Lihat Bahjatun Nadhirin Syarah
Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar Ibnul Jauzi)
Al Imam An Nawawi rahimahullah
berkata dalam Al Adzkar : “Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan
apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah (ghibah itu menyangkut) tubuhnya,
agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang
tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya,
gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang
menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang
tersebut dengan lafadhmu (ucapan bibirmu) atau tulisanmu, atau melalui tanda
dan isyarat matamu, atau dengan tanganmu, atau kepalamu atau yang semisalnya.
Adapun ghibah yang menyangkut
badan seseorang misalnya engkau mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang,
picak, gundul, pendek, tinggi, hitam, kuning, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan
agama, misalnya engkau berkata : Si Fulan itu fasik, atau pencuri, pengkhianat,
dhalim, meremehkan shalat, bermudah-mudah dalam perkara najis, tidak berbuat
baik pada orang tuanya, tidak memberikan zakat pada tempatnya, tidak menjauhi
ghibah, dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut urusan
dunia seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan kurang adabnya, meremehkan
manusia, tidak memandang ada orang yang punya hak terhadapnya, banyak bicara,
banyak makan dan tidur, tidur bukan pada waktunya, duduk tidak pada tempatnya,
dan lain-lain.
Ghibah yang bersangkutan dengan
orang tuanya, misalnya engkau mengatakan : Si Fulan itu ayahnya fasik. Atau
mengatakan dengan nada merendahkan : Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya
penjual kain, anaknya tukang kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong,
dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut akhlak,
misalnya engkau berkata : Si Fulan jelek akhlaknya, sombong, ingin dilihat bila
beramal (riya), sifatnya tergesa-gesa, lemah hatinya, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan
pakaian seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan lebar kerah bajunya,
bajunya kepanjangan, dan lain-lain.
Yang jelas, batasan ghibah adalah
engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, apakah dengan ucapan
bibirmu atau yang lainnya. Dan setiap perkara yang dapat dipahami oleh orang
lain bahwa itu menyangkut kekurangan seorang Muslim maka hal tersebut merupakan
ghibah yang diharamkan.
Dan termasuk ghibah adalah
meniru-nirukan tingkah laku seseorang untuk menunjukkan kekurangan yang ada
padanya, misalnya menirukan cara berjalannya dengan membungkuk dan sebagainya.
Termasuk pula dalam ghibah ini
apabila seorang penulis kitab menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya,
dengan mengatakan : “Telah berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia
inginkan dengan tulisannya tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan
menjelekkannya.
Namun apabila tujuan penulisan
tersebut untuk menjelaskan kesalahan si Fulan agar orang lain tidak
mengikutinya, atau untuk menjelaskan kelemahannya dalam bidang ilmu agar
manusia tidak tertipu dengannya dan tidak menerima pendapatnya, maka hal ini
bukanlah termasuk ghibah. Bahkan ini merupakan nasihat yang wajib dan diberi
pahala bagi pelakunya.
Demikian pula bila seorang
penulis atau yang lainnya berkata : “Telah berkata satu kaum atau satu kelompok
begini dan begitu, dan perkataan ini salah dan menyimpang … .” Maka ini bukan
termasuk ghibah karena tidak langsung menyebut individu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah bila dikatakan
kepada seseorang : “Bagaimana keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya
menjawab : “Alhamdulillah, keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah
menjauhkan kita dari kejelekan dan kurangnya rasa malu … .” Atau ucapan-ucapan
lain yang dipahami maksud dibaliknya untuk menjelekkan orang lain, walaupun si
pengucap berlagak memanjatkan doa. ]
(Demikian kami ringkaskan dari
nukilan Asy Syaikh Salim Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin 3/25-27)
Yang Dikecualikan Dari Ghibah
Al Imam Nawawi rahimahullah dalam
kitabnya Riyadlus Shalihin menyebutkan beberapa perkara yang dikecualikan dari
ghibah :
Pertama : Mengadukan kedhaliman
seseorang kepada penguasa atau hakim atau orang yang memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan kedhaliman tersebut.
Kedua : Meminta tolong kepada
orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan
pelaku maksiat kepada kebenaran.
Ketiga : Mengadukan seseorang
dalam rangka meminta fatwa kepada mufti, seperti perbuatan Hindun ketika
mengadukan suaminya Abu Sufyan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam,
ia berkata : “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberi
nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku mengambilnya tanpa
sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam menjawab : “Ambillah sekedar dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan
ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)
Keempat : Dalam rangka
memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka. Hal ini dari
beberapa sisi, di antaranya :
a) Men-jarh (menyebutkan
kejelekan) para perawi hadits, misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta,
dlaif.
b) Ketika diminta pendapat
(diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya. Maka wajib
bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan kejelekan yang
diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dimintai pendapat oleh Fathimah
bintu Qais radhiallahu 'anha dalam menentukan pilihan antara menerima pinangan
Muawiyyah atau Abu Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam menasehatkan : “Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang
fakir, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan
tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul wanita, pent.).” (HR. Bukhari dan
Muslim nomor 1480)
c) Ketika melihat ada seseorang
yang sering bertamu ke rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan dikhawatirkan
orang itu akan terpengaruh/kena getahnya, maka wajib menasehatinya dengan
menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik itu.
Kelima : Menyebutkan kejelekan
orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah seperti minum khamar,
merampas harta orang lain, dan lain-lain.
Keenam : Menyebut seseorang
dengan gelaran/perkara yang dia terkenal/masyhur dengannya, misalnya : Si buta,
si pendek, si hitam, dan lain-lain.
(Dinukil dengan ringkas dari
Riyadlus Shalihin halaman 450-451. Cetakan Maktabatul Ma’arif)
Apakah Ghibah Termasuk Dosa
Besar?
Al Imam Ash Shan’ani rahimahullah
dalam kitabnya Subulus Salam berkata : “Ulama berselisih apakah ghibah ini
termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al Imam Al Qurthubi menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa ghibah termasuk dosa besar.”[2] (Lihat Subulus Salam
4/292. Cetakan Maktabah Al Irsyad. Shan’a). Dan pendapat bahwasanya ghibah
adalah dosa besar inilah yang didukung oleh dalil sebagaimana diterangkan Al
Imam Ash Shan’ani.
Termasuk dalil yang menunjukkan
besarnya dosa ghibah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya
dari Said bin Zaid, ia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Sesungguhnya termasuk perbuatan
riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.”
(Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud
nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan 1871 dan dishahihkan pula oleh Asy Syaikh
Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad)
Haramnya Mendengarkan Ghibah
Al Imam An Nawawi dalam Al Adzkar
: “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu diharamkan bagi pelakunya, diharamkan pula
bagi pendengar untuk mendengarkannya. Maka wajib bagi orang yang mendengar
seseorang ingin berbuat ghibah untuk melarangnya apabila ia tidak
mengkhawatirkan terjadinya mudlarat.
Apabila ia khawatir terjadi
mudlarat maka hendaknya ia mengingkarinya dengan hatinya dan meninggalkan
majelis itu bila memungkinkan.
Apabila ia mampu untuk
mengingkari dengan lisannya atau memotong pembicaraan ghibah dengan membelokkan
pada pembicaraan lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Bila tidak ia
lakukan maka sungguh ia telah bermaksiat.
Apabila ia berkata dengan
lisannya : ‘Diam’ (berhentilah dari ghibah) sementara hatinya menginginkan
ghibah itu diteruskan, maka yang demikian itu adalah nifak dan pelakunya
berdosa. Seharusnya ketika lisan melarang, hati pun turut mengingkari.
Dan kapan seseorang terpaksa
berada di majelis yang diucapkan ghibah padanya sementara ia tidak mampu untuk
mengingkarinya atau ia mengingkari namun ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan
untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk bersengaja
mencurahkan pendengaran dan perhatian pada ghibah yang diucapkan. Namun
hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya, atau dengan
hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia tersibukkan dari
mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila ia menemukan jalan untuk
keluar dari majelis itu sementara mereka yang hadir terus tenggelam dalam
ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari
Bahjatun Nadhirin 3/29-30)
Allah Ta’ala berfirman : “Dan
apabila mereka (Mukminin) mendengar ucapan laghwi, mereka berpaling darinya.
(Al Qashshash : 55)
“Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al
Isra’ : 36)
Cara Bertaubat Dari Ghibah
Ada dua pendapat ulama dalam
masalah ini dan keduanya merupakan riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu :
1) Apakah cukup bertaubat dari
ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang dighibah?
2) Ataukah harus
memberitahukannya dan meminta kehalalannya?
Yang benar adalah tidak perlu
memberitahukan ghibah itu kepada yang dighibahi, tapi cukup memintakan ampun
untuknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah
saudaranya tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah
rahimahullah dan selainnya. (Nashihati lin Nisa’ halaman 31. Cetakan Darul
Haramain)
EmoticonEmoticon