Putraku bukan si juara umum di sekolah, bukan bintang utama
di pengajian, juga bukan pemain inti di lapangan futsal, dan tidak juga juara
melukis ataupun pemenang lomba beladiri.
Dia adalah anak-anak sepuluh tahun , kelas lima SD, yang
senang bermain tiada henti, menikmati keciprak air hujan, mengayuh sepeda
menantang angin, dan tak terlalu suka belajar (belajar dalam pengertian umum
orang Indonesia, yaitu membaca buku pelajaran sampai hafal titik koma nya).
Ini menyebabkan rumahku tak punya banyak piala.
Terkadang, sebongkah kecewa bergayut di hati, kecewa pada
nilai matematikanya yg tak
sempurna padahal soalnya gampang,
kecewa pada hafalan surat pendek al
quran yang masih salah, kecewa pada kegagalan gol karena tendangannya yg lemah.
Mana pialamu , duhai kesayanganku?
Allah, Tuhan yang kuimani berbisik lembut.
“Kamu adalah ibu yang
sangaaaaaaaaat jauh dari sempurna, dan putramu tak pernah menuntut lebih, dia
ikhlas, tak melayangkan protes atas segala kekuranganmu, lalu kenapa kamu tak
membalasnya dengan cara serupa? Kamu sedemikian banyak menuntut dari putramu,”
aku terkesiap.
Sekawanan awan sedemikian rendah, gelap, hujan memberi aba-aba mau turun, aku
tergopoh mencari jilbab, berlari ke
jemuran. Dan disana…. putraku sedang
membungkuk memungut jemuran yg berjatuhan, sebelum kusuruh.
Aku tertidur pulas, terbangun mendengar suara berisik di
kamar mandi, ternyata putraku sedang memandikan adik bungsunya, berjongkok
menyabuni jari-jari kaki adiknya, tanpa kuminta.
Aku heran, kenapa rumah sedemikian damai, tak ada pekikan
berebut mainan, ternyata putraku sedang bersimpuh di sudut kamar, membuatkan
kapal-kapalan kertas secara adil untuk ketiga adiknya.
Embun dimataku mendesak keluar, ketika hujan turun deras
dan putraku dilindungi payung lebar, berjalan ke rumah
tetangga kemudian kembali dengan membawa daun sirsak untuk peningkat daya tahan
tubuhku.
“Empat belas lembar, udah kupilihin yang bagus-bagus, biar
mama cepet sembuh” tangannya terulur menyerahkan daun sirsak, , aku terkapar
lemah kala itu.
Mataku menghangat, kuterima dengan seksama, seperti pak
presiden menerima bendera pusaka.
Terimakasih putraku, engkau telah memberi piala, dan ini
adalah sebenar-benarnya piala, piala yang sesungguhnya untukku.
Nak, ijinkan aku mencium tanganmu, sebagai wujud permohonan
maaf atas segala tuntutanku...
Putra putri yang shalih- shalihah... juara yg sesungguhnya
Oleh: Dr. Hj. Netty Prasetiyani Heryawan (Isteri Kang AHER- Gubernur Jawa Barat)
EmoticonEmoticon