Kabar tewasnya Utsman bin Abi
Nus’ah dan nasib putrinya yang jelita, Minin, mengejutkan Duke Octania. Dia
sadar bahwa genderang perang telah ditabuh. Cepat atau lambat singa Islam,
Abdurrahman al-Ghafiqi akan menyerbu kapan saja, tak peduli siang atau malam.
Kaisar Duke Octania segera
mempersiapkan diri untuk mempertahankan setiap jengkal wilayahnya. Hanya saja
bayang-bayang buruk selalu menghantuinya. Dia khawatir akan menjadi tawanan
kaum muslimin seperti putrinya yang kini dikirim ke Syam. Dia takut kepalanya
dipenggal kemudian ditaruh di atas talam dan diarak keliling kota seperti
Loderik, raja Andaluisia dahulu.
Dugaan Duke Octania tepat,
tiba-tiba Abdurrahman al-Ghafiqi benar-benar datang bersama pasukan yang luar
biasa besarnya, menyerbu dari Spanyol Utara bagai gelombang pasang dan turun ke
wilayah Prancis Selatan dari pegunungan Pyrenees laksana air bah. Prajuritnya
mencapai 100.000 orang dan setiap batalyonnya didampingi oleh prajurit-prajurit
pilihan yang bertubuh tinggi besar.
Prajurit Islam masuk melalui kota
Arles yang terletak di tepi sungai Rhone. Pertimbangannya adalah karena kota
ini terikat perjanjian damai dengan muslimin dan telah menyetujui kewajiban
membayar jizyah. Namun ternyata setelah gubernur as-Samah bin Malik al-Khaulani
gugur di Toulouse dan kekuatan muslimin melemah, mereka melanggar perjanjian
dan menolak membayar jizyah.
Kedatangan Abdurrahman al-Ghafiqi
dan pasukannya di perbatasan Azil, disambut oleh pasukan besar yang disiapkan
oleh Duke Octania untuk menghambat gerak maju pasukan Islam. Dua kekuatan
berhadap. Perang besar tak terelakkan lagi.
Pasukan pertama yang dikerahkan
Abdurrahman al-Ghafiqi adalah pasukan khusus yang lebih mencintai mati daripada
kecintaan musuh terhadap kehidupan. Mereka berhasil menggoyahkan dan akhirnya
memporak-porandakan barisan musuh. Pertempuran terus merambat ke dalam kota.
Pedang-pedang berkelebat membabat kiri-kanan. Pasukan Islam mendapatkan hasil
ghanimah di luar perhitungan.
BACA JUGA "ABDULLAH IBNU RAWAHAH"
BACA JUGA "ABDULLAH IBNU RAWAHAH"
Namun sayang, Duke Octania
berhasil meloloskan diri dari medan beserta sisa-sisa pasukannya. Sehingga dia
masih menyimpan potensi bersiap-siap menyongsong pertempuran selanjutnya, sebab
dia sadar bahwa pertempuran di Arles baru awal dari suatu perang yang panjang.
Bersama pasukannya, Abdurrahman
al-Ghafiqi menyeberangi sungai Garonne. Kemenangan demi kemenanganan mereka
raih. Satu demi satu kota-kota Octania dapat direbut melalui pasukan
kavalerinya, seperti daun-daun yang berugugran diterpa angin. Ghanimah makin
menumpuk hingga mencapai jumlah yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Duke Octania berusaha membendung
pasukan Islam untuk kedua kalinya dengan mempersiapkan suatu pertempuran besar.
Namun kali inipun kaum muslimin mampu mengatasinya. Mereka menghajar dan
meluluhlantakkan pasukannya. Duke Octania kembali lolos meninggalkan para
prajuritnya yang kocar-kacir. Banyak yang gugur, tidak sedikit yang tertawan
dan ada pula yang lari dari medan perang.
Target serangan berikutnya adalah
Bordeaux, kota terbesar di Prancis pada waktu itu sekaligus merupakan ibukota
Octania. Perang untuk memperebutkan Bordeaux tak kalah serunya dengan
peperangan-peperangan yang telah lalu. Sistem pertahanannya tentu lebih kokoh. Tapi
dengan perjuangan yang tak kenal lelah, kota besar ini dapat direbut oleh
pasukan muslimin seperti kota-kota lainnya. Para panglima musuh gugur
sebagaimana teman-teman yang telah mendahului mereka.
Banyak sekali harta ghanimah yang
diperoleh dalam perang ini. Tapi yang lebih penting adalah dengan jatuhnya
Bordeaux merupakan kunci pembuka kota-kota penting Prancis lainnya, seperti
Lyon, Besancon, dan Sens sehingga posisi pasukan Islam saat itu tinggal seratus
mil saja dari Paris.
Dunia Eropa tersentak mendapati
bahwa Prancis Selatan telah takluk di tangan Abdurrahman. al-Ghafiqi dalam
waktu beberapa bulan saja. Mata dunia Barat terbuka akan bahaya besar yang
menghadap di hadapan mereka.
Anjuran partisipasi menggaung di
seluruh penjuru Eropa. Setiap orang, mampu atau tidak, diharapkan
partisipasinya untuk membendung arus Timur yang deras itu. Bila tak mampu
membendung dengan pedang, hendaknya menahan dengan dadanya. Bila senjata habis
hendaknya jalanan ditutup dengan tubuh mereka. Eropa bangkit menyambut seruan
itu. Orang-orang berdatangan dari segala penjuru dengan membawa apa saja yang
bisa digunakan, batu-batu, kayu, duri, dan pedang. Mereka bersatu padu di bawah
komando Karel Martel.
Dalam waktu yang bersamaan
prajurit Islam telah tiba di Tours, kota Prancis yang padat penduduknya dan
menyimpan bangunan-bangunan tua yang indah. Kota ini bangga dengan
gereja-gereja besarnya yang terindah di seluruh Eropa dan berisi penuh kekayaan
yang tak ternilai harganya.
Prajurit Islam mengepung
melingkar layaknya kekang kuda yang melingkari leher kuda. Mereka siap
berkorban nyawa untuk merebut kota ini. Dan benar, Tours jatuh di depan mata
dan pendengaran Karel Martel.
Akhir bulan Sya’ban 104 H
Abdurrahman al-Ghafiqi bersama pasukannya yang perkasa memasuki kota Poitiers.
Mereka disambut oleh pasukan besar Eropa yang dipimpin oleh Karel Martel.
Perang dahsyat antara kedua pasukan itu tidak hanya tercatat dalam sejarah
Islam dan Barat saja, melainkan juga dalam sejarah umat manusia. Pertempuran
tersebut dikenal dengan nama, “Balath Syuhada,” karena banyaknya prajurit Islam
yang syahid.
ARTIKEL TERKAIT "KISAH ABBAD BIN BISYIR"
ARTIKEL TERKAIT "KISAH ABBAD BIN BISYIR"
Ketika itu pasukan Islam
benar-benar dalam puncak kejayaan yang gemilang. Namun sayang, punggung mereka
terlalu berat memikul hasil ghanimah yang melimpah ruah. Abdurrahman al-Ghafiqi
menyaksikan itu dengan hati sedih dan khawatir. Beliau mengkhawatirkan kondisi
pasukan. Bagaimana bisa tenang sementara hati dan pikiran para prajuritnya
mulai beralih kpeada harta benda itu? Di saat-saat yang menentukan justru jiwa
mereka terbagi, sebelah mata memandang musuh dan sebelah lagi melirik
harta-harta ghanimah.
Ingin sekali Abdurrahman
menganjurkan pasukannya untuk melepaskan diri dari ghanimah yang
bertumpuk-tumpuk itu. Tapi dia sangsi apakah mereka bisa menerima keputusan itu
dengan senang hati. Maka tak ada jalan lain kecuali beliau harus mengumpulkan
seluruh ghanimah di dalam tenda-tenda yang difungsikan sebagai gudang. Lalu
diletakkan di belakang markas sebelum perang berkobar.
Dua pasukan yang sama besarnya
mengambil posisi berhadapan. Beberapa hari suasana terasa tegang. Diam dan
penuh selidik, seperti dua gunung besar. Masing-masing mengukur kekuatan lawan
dan berpikir seribu kali untuk memilih saat yang tepat untuk menyerang.
Waktu demi waktu berlalu,
Abdurrahman al-Ghafiqi melihat bahwa semangat pasukannya mulai menyala. Seperti
kemampuan mereka dapat diandalkan dan optimis untuk menang. Maka beliau
memutuskan agar pasukan Islam lebih dahulu menyerang.
Abdurrahman al-Ghafiqi mulai
menerobos pertahanan Barat dengan pasukannya laksana singa yang menerjang
dengan ganas. Pihak Barat bertahan seperti benteng yang kokoh. Pertempuran
berkecamuk sehari penuh dan belum terlihat tanda-tanda kemenangan pada salah
satu pihak. Seandainya tak terhalang oleh gelapnya malam, niscaya mereka tak akan
berhenti bertempur.
Memasuki hari kedua, pertempuran
kembali berkobar. Prajurit-prajurit Islam menyerang dengan gagah berani dan
tekad yang kuat, namun pertahanan Barat belum pula tergoyahkan.
Perang berlangsung hingga tujuh
hari berturut-turut dengan dahsyat. Pada hari kedelapan, sedikit demi sedikit
barisan musuh mulai terkoyak. Harapan menang pun mulai terbayang. Laksana
semburat cahaya fajar di pagi hari. Namun dalam waktu yang sama, sekelompok
prajurit Barat menyerang tempat penyimpanan harta ghanimah dan menguasai hampir
seluruhnya dengan mudah. Melihat hal itu, pasukan Islam mulai goyah. Sebagian
besar dari mereka mundur ke belakang untuk menyelamatkan harta ghanimah
tersebut hingga merusak pertahanan barisan depan.
Dengan gigih Panglima besar Abdurrahman
al-Ghafiqi berusaha mencegah para prajuritnya surut ke belakang, sambil terus
menahan arus serangan dari depan dan menutupi celah-celah yang lemah. Dia
bergerak cepat kesana-kemari dengan kudanya yang perkasa. Di saat itulah
sebatang panah mengenai tubuhnya sehingga dia terjatuh dari kuda seperti seekor
elang yang terjatuh dari puncak gunung. Maka terwujudlah syahid di medan perang
yang didambakannya.
Akan halnya dengan pasukan Islam,
melihat panglimanya gugur, mereka semakin berantakan, sedangkan musuh kian
bersemangat merangsek ke depan. Tak ada yang mampu menghentikan keganasan
mereka selain malam yang mulai merayap.
Pagi harinya Karel Martel
mendapati pasukan Islam sudah mundur dari medan perang Pioitiers. Namun dia tak
berani mengejar. Padahal seandainya dia mengejarnya pastilah dia akan berhasil
menghancurkan kaum muslimin. Dia mengira bahwa gerak mundur pasukan Islam
adalah disengaja untuk memancing mereka keluar medan terbuka. Ia mengira itu
merupakan strategi baru muslimin yang direncanakan malam sebelumnya. Maka Karel
Martel memilih untuk tetap di tempat dan merasa cukup dengan membendung
kekuatan yang membahayakan itu, lalu menikmati kemenangan yang diraihnya.
Balath Syuhada menjadi peristiwa
monumental dalam sejarah. Di hari itu kaum muslimin telah menyia-nyiakan
kesempatan emas yang terbuka lebar, bahkan kehilangan seorang pemimpin besar
dan pahlawan yang tangguh bernama Abdurrahman al-Ghafiqi. Peristiwa itu laksana
ulangan tragedi Uhud yang memilukan.
Begitulah, semuanya telah menjadi
sunnatullah terhadap hamba-hamba-Nya, tak ada yang kuasa merubah ataupun
menggantinya.
Kabar kekalahan di Balath Syuhada
menjadi tamparan yang menggoncangkan kaum muslimin di segenap pelosok. Duka dan
pilu melanda setiap desa dan kota, memasuki setiap rumah Islam. Luka itu hingga
kini masih terasa pedihnya, dan akan tetap diingat selagi masih ada seorang
muslim yang ada di permukaan bumi ini. Tapi, jangan Anda sangka tragedi itu
hanya menyedihkan kaum muslimin saja. Orang-orang Barat yang berakal sehat pun
merasakan demikian. Bagi mereka, kemenangan nenek moyang mereka atas kaum
muslimin di Poititers merupakan musibah besar bagi umat manusia, khususnya
merugikan Eropa dalam mencapai kemajuan.
Sebagai bukti dari pendapat
golongan ini, marilah kita simak komentar tentang kekalahan kaum muslimin di
Balath Syuhada, oleh pemimpin redaksi majalah “Review Parlementer” yaitu Henry
de Syambon, “Kalau saja bukan karena kemenangan pasukan Karel Martel atas
pasukan Islam di Prancis, tentu negeri kita tidak perlu tenggelam dalam
kegelapan kebodohan pada abad pertengahan. Tidak akan seburuk itu. Dan kita
juga tidak perlu mengalami pembantaian besar-besaran yang didasari oleh
fanatisme sekte-sekte agama. Benar, seandainya tidak karena kemenangan Barat
pada waktu itu, Spanyol akan bisa hidup dalam kearifan Islam yang murni,
selamat dari kekejaman badan-badan intelijen dan tidak terlambat menerima arus
kemajuan sampai delapan abad. Meski ada perbedaan rasa dan pandangan tentang
kemenangan itu, yang jelas kita benar-benar berhutang budi pada kaum muslimin
akan kemajuan ilmu, seni dan budaya luhur yang mereka bawa. Kita harus mengakui
bahwa kaum muslimin adalah teladan tentang kemanusiaan yang sempurna di saat
kita dahulu masih menjadi manusia Barbar yang ganas.”
EmoticonEmoticon