Segala
puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Berikut rumaysho.com akan
menjabarkan beberapa hal yang disunnahkan ketika puasa. Semoga kita bisa
mengamalkannya.
Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan bagi orang yang
hendak berpuasa untuk makan sahur. Al Khottobi mengatakan bahwa makan sahur
merupakan tanda bahwa agama Islam selalu mendatangkan kemudahan dan tidak
mempersulit.[1] Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَصُومَ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَىْءٍ
Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian karena di dalam sahur
terdapat keberkahan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah karena
sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.”[3] An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Karena dengan makan sahur akan semakin kuat melaksanakan puasa.”[4]
ATRIKEL TERKAIT: MOTIFASI BELAJAR BAHASA ARAB
MENGAJUKAN SYARAT KETIKA DIPINANG
FIQH QURBAN
Makan sahur juga merupakan
pembeda antara puasa kaum muslimin dengan puasa Yahudi-Nashrani (ahlul kitab).
Dari Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فَصْلُ
مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa
kita (umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur.”[5] At Turbasyti
mengatakan, “Perbedaan makan sahur kaum muslimin dengan ahlul kitab adalah
Allah Ta’ala membolehkan pada umat Islam untuk makan sahur hingga shubuh, yang
sebelumnya hal ini dilarang pula di awal-awal Islam. Bagi ahli kitab dan di
masa awal Islam, jika telah tertidur, (ketika bangun) tidak diperkenankan lagi
untuk makan sahur. Perbedaan puasa umat Islam (saat ini) yang menyelisihi ahli
kitab patut disyukuri karena sungguh ini adalah suatu nikmat.”[6]
Sahur ini hendaknya tidak
ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
السَّحُورُ
أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ
مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
المُتَسَحِّرِينَ
“Sahur adalah makanan
yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun
hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat
bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.”[7]
Disunnahkan untuk
mengakhirkan waktu sahur hingga menjelang fajar. Hal ini dapat dilihat dalam
hadits berikut. Dari Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ.
قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً.
“Kami pernah makan
sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri
untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa
lama jarak antara adzan Shubuh[8] dan
sahur kalian?” Zaidmenjawab, ”Sekitar membaca 50
ayat”.[9] Dalam riwayat
Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.”
BACA JUGA : HUKUM WAJIB MENUTUP AURAT
BACA JUGA : HUKUM WAJIB MENUTUP AURAT
Ibnu Hajar mengatakan,
“Maksud sekitar membaca 50 ayat artinya waktu makan sahur tersebut tidak
terlalu lama dan tidak pula terlalu cepat.” Al Qurthubi mengatakan, “Hadits ini
adalah dalil bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar.”
Di antara faedah
mengakhirkan waktu sahur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar yaitu akan
semakin menguatkan orang yang berpuasa. Ibnu Abi Jamroh berkata, “Seandainya
makan sahur diperintahkan di tengah malam, tentu akan berat karena ketika itu
masih ada yang tertidur lelap, atau barangkali nantinya akan meninggalkan
shalat shubuh atau malah akan begadang di malam hari.”[10]
Bolehkah Makan Sahur Setelah Waktu Imsak
(10 Menit Sebelum Adzan Shubuh)?
Syaikh ‘Abdul Aziz bin
‘Abdillah bin Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi
fatwa Saudi Arabia)- pernah ditanya, “Beberapa organisasi dan yayasan
membagi-bagikan Jadwal Imsakiyah di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Jadwal
ini khusus berisi waktu-waktu shalat. Namun dalam jadwal tersebut ditetapkan
bahwa waktu imsak (menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah 15 menit
sebelum adzan shubuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam? “
Syaikh rahimahullah menjawab:
Saya tidak mengetahui adanya
dalil tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum adzan shubuh. Bahkan yang
sesuai dengan dalil Al Qur’an dan As Sunnah, imsak (yaitu menahan diri dari
makan dan minum, -pen) adalah mulai terbitnya fajar (masuknya waktu shubuh).
Dasarnya firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah
hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al
Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الفَجْرُ
فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ
تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
“Fajar ada dua macam:
[Pertama] fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar
shodiq, fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan
untuk shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang
muncul sebelum fajar shodiq, -pen).” (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan
Al Kubro no. 8024 dalam “Puasa”, Bab “Waktu yang diharamkan untuk makan bagi
orang yang berpuasa” dan Ad Daruquthni dalam “Puasa”, Bab “Waktu makan sahur”
no. 2154. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya
menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)
Dasarnya lagi adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ
بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ
مَكْتُومٍ
“Bilal biasa
mengumandangkan adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar
adzan Ibnu Ummi Maktum.” (HR. Bukhari no. 623 dalam Adzan, Bab “Adzan
sebelum shubuh” dan Muslim no. 1092, dalam Puasa, Bab “Penjelasan bahwa
mulainya berpuasa adalah mulai dari terbitnya fajar”). Seorang periwayat hadits
ini mengatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau
tidaklah mengumandangkan adzan sampai ada yang memberitahukan padanya “Waktu
shubuh telah tiba, waktu shubuh telah tiba.”[11]
Menyegerakan berbuka
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
Dalam hadits yang lain
disebutkan,
لَا
تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ
“Umatku akan senantiasa
berada di atas sunnahku (ajaranku) selama tidak
menunggu munculnya bintang untuk berbuka puasa.”[13] Dan
inilah yang ditiru oleh Rafidhah (Syi’ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani
dalam berbuka puasa. Mereka baru berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah
melindungi kita dari kesesatan mereka.[14]
Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat
maghrib dan bukanlah menunggu hingga shalat maghrib selesai dikerjakan. Inilah
contoh dan akhlaq dari suri tauladan kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
“Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum
menunaikan shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma
kering). Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk
air.”[15]
Berbuka dengan kurma jika mudah diperoleh
atau dengan air.
Dalilnya adalah hadits yang disebutkan
di atas dari Anas. Hadits tersebut menunjukkan bahwa ketika berbuka disunnahkan
pula untuk berbuka dengan kurma atau dengan air. Jika tidak mendapati kurma,
bisa digantikan dengan makan yang manis-manis. Di antara ulama ada yang
menjelaskan bahwa dengan makan yang manis-manis (semacam kurma) ketika berbuka
itu akan memulihkan kekuatan, sedangkan meminum air akan menyucikan.[16]
Berdo’a ketika berbuka
Perlu diketahui bersama
bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya do’a. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ
لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang
do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika
dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi.”[17] Ketika
berbuka adalah waktu terkabulnya do’a karena ketika itu orang yang berpuasa
telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan diri.[18]
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
berbuka beliau membaca do’a berikut ini,
ذَهَبَ
الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Dzahabazh zhoma’u wabtallatil
‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan
urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah)”[19]
Adapun do’a berbuka,
اللَّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Allahumma laka shumtu wa
‘ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku
berbuka)”[20]Do’a
ini berasal dari hadits hadits dho’if (lemah).
Begitu pula do’a berbuka,
اللّهُمَّ
لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Allahumma laka shumtu wa
bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa
dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka), Mula ‘Ali
Al Qori mengatakan, “Tambahan “wa bika aamantu” adalah tambahan yang tidak
diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.[21] Sehingga
cukup do’a shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhomau …) yang
hendaknya jadi pegangan dalam amalan.
Memberi
makan pada orang yang berbuka.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Siapa memberi makan
orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut,
tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”[22]
Lebih
banyak berderma dan beribadah di bulan Ramadhan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
كَانَ
النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ
أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ
جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى
يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ ،
فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ
مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah orang yang paling gemar melakukan kebaikan. Kedermawanan
(kebaikan) yang beliau lakukan lebih lagi di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril
‘alaihis salam menemui beliau. Jibril ‘alaihis salam datang menemui beliau pada
setiap malam di bulan Ramadhan (untuk membacakan Al Qur’an) hingga Al Qur’an
selesai dibacakan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila Jibril
‘alaihi salam datang menemuinya, beliau adalah orang yang lebih cepat dalam
kebaikan dari angin yang berhembus.”[23]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih banyak lagi
melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau memperbanyak sedekah, berbuat
baik, membaca Al Qur’an, shalat, dzikir dan i’tikaf.”[24]
Dengan banyak berderma
melalui memberi makan berbuka dan sedekah sunnah dibarengi dengan berpuasa
itulah jalan menuju surga.[25] Dari
‘Ali, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا
وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ
وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »
“Sesungguhnya
di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian
dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya.” Lantas seorang
arab baduwi berdiri sambil berkata, “Bagi siapakah kamar-kamar itu
diperuntukkan wahai Rasululullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: “Untuk orang yang berkata benar, yang memberi
makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat pada malam hari diwaktu manusia
pada tidur.”[26]
EmoticonEmoticon