FIQH PENYEMBELIHAN QURBAN


Idul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah swt bagi ummat Nabi Muhammad saw. Hal ini diterangkan dalam hadits Anas ra, beliau berkata :
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Nabi saw datang ke Madinah, mereka di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka (beliau) bersabda : “Hari apakah dua hari ini ?” Mereka menjawab, “Kami biasa merayakannya dengan bersuka ria di masa jahiliyyah”. Kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari Idul Qurban dan hari Idul Fitri.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasai).

Hari Raya qurban, termasuk syi’ar umat Islam, maka hendaknya kita menjaganya dan menghormatinya. Cara menghormati hari raya ini adalah dengan menghidupkan sunnahnya, dan menjauhkan dari hal-hal yang bid’ah.
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (Al Hajj 32).

MAKNA QURBAN
Qurban dalam bahasa Arab berasal dari kata qa-ru-ba ( قَرُبَ ) artinya dekat. Ibadah qurban yang di dalamnya terdapat penyembelihan hewan qurban adalah ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ibadah qurban disebut juga “udlhiyah” ( أُضْحِيَّة ) artinya penyembelihan binatang sebagai qurban. Tentang penyariatan ibadah qurban ini ditetapkan berdaasarkan al-Qur’an maupun hadis. al-Qur’an menyinggung soal Qurban di dalam surah al-Kautsar
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka dirikanlah shalat untuk Tuhanmu dan menyembelihlah”. (Al-Kautsar:2)
Kata wanhar ( وَانْحَرْ ) maksudnya adalah menembelih binatang korban. Sedangkan hadis yang menyebutkan persoalan qurban sangat banyak, akan disebutkan di dalam tulisan ini di berbagai tempat sesuai dengan tema masing-masing.

KEUTAMAAN QURBAN
Keutamaan qurban dijelaskan oleh sebuah hadist Rasulullah s.a.w :
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا
“Tidak ada amal yang dilakukan oleh anak Adam lebih disukai oleh Allah di hari korban selain dari mengalirkan darah (menyembelih qurban). Sesungguhnya korbannya itu di hari kiamat akan datang menyertai bani adam dengan tanduk-tanduknya, bulunya dan kuku-kukunya. Dan darah qurban tersebut akan menetes di suatu tempat (yang diridlai) Allah sebelum menetes ke bumi, maka sempurnakanlah korban itu ” (HR at-Tirmizi).

HUKUM QURBAN
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum qurban adalah sunnah muakkadah bagi mereka yang mampu. Tetapi Abu Hanifah (seorang ulama’ Tabi’in) menyatakan hukumnya wajib. Ibnu Hazm menyatakan: “Tidak ada seorang sahabat Nabi pun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib.” Sementara di dalam mazhab Syafi’i muncul pendapat bahwa qurban hukumnya sunnah ‘ain (menjadi tanggungan individu) bagi setiap individu sekali dalam seumur hidup dan sunnah kifayah bagi sebuah keluarga besar, menjadi tanggungan seluruh anggota keluarga, namun kesunnahan tersebut terpenuhi bila salah satu anggota keluarga telah melaksanakannya. Dalil yang dijadikan dasar tentang tidak wajibnya qurban, adalah hadits Ummu Salamah:
إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا
“Jika masuk tanggal 10 Dzul Hijjah dan ada salah seorang diantara kalian yang ingin berqurban, maka hendaklah ia tidak cukur atau memotong kukunya.” (HR. Muslim)
Kata “dan salah seorang diantara kalian ingin berqurban”, menurut Imam Syafi’i, adalah menunjukkan qurban tidak wajib. Sebab memungkinkan juga adanya orang yang tidak berkeinginan, padahal ia mampu. Sedangkan dalil wajibnya qurban menurut madzhab Hanafi adalah hadist Abu Haurairah yang menyebutkan
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mempunyai kelonggaran (harta), namun ia tidak melaksanakan qurban, maka janganlah ia mendekati masjidku” (H.R. Ahmad, Ibnu Majah).
Hadis ini oleh Imam Hanafi difahami sebagai suatu perintah yang sangat kuat karena diikurti dengan suatu ancaman, sehingga lebih tepat untuk dikatakan wajib.
Dari dua pendapat tersebut, pendapat pertama lebih kuat, karena adanya dorongan yang kuat belum tentu bermakna sebagai kewajiban. Apalagi dengan adanya hadis Muslim dari Ummu Salamah yang menyebutkan bentuk pilihan, boleh memilih berkorban dan boleh tidak berkorban. Dengan demikian ibadah qurban disunnahkan kepada yang mampu. Ukuran kemampuan tidak berdasarkan kepada nisab, namun disesuaikan dengan kondisi masing-masing individu. Apabila seseorang setelah memenuhi kebutuhan sehari-harinya masih memiliki dana lebih dan mencukupi untuk membeli hewan qurban, khususnya di hari raya iedul adha dan tiga hari tasyriq maka berarti ia mampu.

KAPAN MENJADI WAJIB
Meskipun hukum asalnya sunnah mu’akkadah, namun qurban bisa menjadi wajib dalam keadaan dua hal;
1. Jika telah bernadzar untuk melakukan korban, sebagaimana hadis;
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
“Seseorang yang bernadzar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukan ketaatan itu, dan jika ia bernadzar untuk bermaksiat maka janganlah melakukan maksiat” (HR al-Bukhari)
2. Jika telah berniat untuk melakukan korban. Menurut Imam Malik, seseorang yang membeli binatang dengan mengatakan, ini untuk korban maka ia berkewajiban untuk melaksanakan niatnya itu.



BINATANG QURBAN
Binatang yang dibolehkan untuk menjadi qurban adalah onta, sapi dan kambing atau domba. Tidak boleh berkorban dengan selain ketiga macam binatang tersebut
Adapun pelaksanaan korban, binatang tersebut ditentukan;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنْ الضَّأْنِ
“Dari Jabir, berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih kambing Al-Jadza’ah (HR. Muslim dan Abu Daud).
Yang dimaksud dengan Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau domba. Umur kambing adalah ketika sudah sempurna usia setahun dan memasuki tahun kedua, untuk sapi telah sempurna usia dua tahun dan masuk tahun ketiga, sedangkan unta telah sempurna usia lima tahun dan telah menginjak tahun keenam. Menurut Ibnu at-Tin, yang dinamakan musinnah adalah ketika sudah berganti gigi. Sedangkan jadza’ah yaitu kambing atau domba yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama. Tetapi ada yang berpendapat, domba usia 6 bulan sudah masuk jadza’ah.

BINATANG KORBAN YANG PALING UTAMA
Sejauh ini tidak ada penjelasan khusus dari Rasulullah tentang binatang yang paling utama untuk dijadikan qurban. Dengan mengambil pelajaran dari keutamaan bersegera menghadiri shalat Jum’at, bisa disimpulkan bahwa binatang yang paling utama menjadi korban adalah adalah onta, setelah itu sapi, setelah itu baru kambing atau domba.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi junub, kemudian berangkat (shalat Jum’at) pada urutan pertama maka seolah-olah ia berkurban dengan seekor onta. Dan orang yang berangkat pada barisan kedua, maka seolah-olah ia berkorban dengan seekor sapi, dan barangsiapa berangkat pada urutan ketiga maka seolah-olah ia berkorban dengan seekor domba. Barangsiapa berangkat pada urutan keempat maka selah-olah ia berkorban dengan ayam, dan yang berangkat pada urutan kelima seolah-olah ia berkorban dengan telur. Jika Imam sudah keluar maka malaikat akan datang untuk mendengarkan dzikir (khutbah)” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Adapun bagi yang berkorban dengan seekor kambing atau domba, yang paling utama adalah seperti yang pernah dijadikan korban oleh Rasulullah saw,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ فَضَحَّى بِهِ
“Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah saw memerintahkan menyembelih domba yang bertanduk baik, dan sekitar kaki, perut dan matanya berwarna hitam. Kemudian didatangkan kepada beliau, lalu disembelih.” (HR. Abu Daud).


HEWAN YANG DILARANG DIJADIKAN QURBAN
Ada beberapa cacat pada binatang yang nenyebabkan ia tidak boleh dijadikan binatang korban. Larangan itu telah dijelaskan oleh Rasulullah saw.
أَرْبَعٌ لَا تُجْزِئُ فِي الْأَضَاحِيِّ الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ الْبَيِّنُ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرَةُ الَّتِي لَا تُنْقِي
Ada empat hal yang tidak boleh dalam berkorban, 1) buta sebelah mata, yang tampak jelas kebutaannya 2) sakit yang jelas sakitnya, 3) pincang yang nyata-nyata pincangnya, dan 4) kurus tidak berlemak (HR Abu Dawud)
Selain keempat tersebut Rasulullah juga melarang berkorban dengan binatang yang tanduknya pecah, atau telinganya hilang sebagian.
عَنْ عَلِيٍّ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُضَحَّى بِأَعْضَبِ الْقَرْنِ وَالْأُذُنِ
Dari Ali, ia berkata, “Rasulullah saw melarang berkorban dengan binatang yang pecah tanduknya dan telinganya (at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Sa’id bin Musayyib menuturkan, bahwa binatang yang kehilangan setengah atau lebih tanduk atau telinganya maka tidak selayaknya untuk dijadikan korban. Tetapi para Ulama’ menjelaskan bahwa kalau ia kehilangan sebagian telinga, tanduk atau ekornya dan tidak sampai setengahnya dan bukan karena kesengajaan, maka masih boleh digunakan untuk korban. Demikian juga binatang yang terkena sedikit penyakit kulit, boleh digunakan untuk berkorban.

BINATANG YANG DIKEBIRI
Sejauh ini tidak ada larangan berkorban dengan binatang yang dikebiri. Meskipun sebenarnya ada cacat, khususnya dalam reproduksi, namun cacat dalam reproduksi ini tidak menyebabkan suatu binatang dilarang untuk dijadikan korban. Bahkan al-Haitsami di dalam kitab Majma’ az-Zawaid menyebutkan adanya beberapa Ulama’ yang menyebutkan bahwa Nabi saw pernah melakukan qurban dengan binatang yang dikebiri.

KORBAN UNTUK PATUNGAN
Satu ekor kambing atau domba bisa diniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya meskipun jumlah keluarganya banyak.
قَال عَطَاءُ بْنُ يَسَارٍ سَأَلْتُ أَبَا أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيَّ كَيْفَ كَانَتْ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ حَتَّى تَبَاهَى النَّاسُ فَصَارَتْ كَمَا تَرَى
“Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah saw, beliau menjawab: jika seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)
Sedangkan untuk seekor sapi bisa diniatkan untuk 7 orang, sebagaimana hadis berikut ;
عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَحَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Dari Jabin, dia berkata: Kami bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyyah seekor sapi untuk tujuh orang dan seekor onta yang gemuk untuk 7 orang.” (HR Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Dan seekor onta, menurut madzhab Syafi’I, Hanafi, dan mayoritas ulama’ bisa untuk7 orang. Tetapi menurut Ishaq bin Rahawiyah dan Ibnu Khuzaimah, bisa untuk 10 orang. Alasan Ishaq adalah hadis dari Ibnu Abbas berikut;
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ النَّحْرُ فَذَبَحْنَا الْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَعِيرَ عَنْ عَشَرَةٍ
“Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta.” (HR At-Tirmidzi).
Demikian ketentuan rombongan dalam berkorban. Tetapi sekarang ini muncul gejala baru, melakukan iuran oleh orang banyak, untuk membeli seekor binatang korban, lalu binatang itu disembelih dengan nama korban. Korban semacam itu tidak sah.

WAKTU PENYEBELIHAN
Permulaan pelaksanaan penyembelihan hewan kurban adalah setelah selesai shalat Ied Adha. Hal ini didasarkan kepada hadis;
عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا نَبْدَأُ مِنْ يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نُصَلِّيَ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ فَقَدْ أَصَابَ سُنَّتَنَا
Dari Barra bin Azib ra, ia berkata: aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, beliau bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita mulai pada hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. (HR al-Bukhari)
Di dalam riwayat muslim disebutkan adanya tambahan penjelasan,
وَمَنْ ذَبَحَ فَإِنَّمَا هُوَ لَحْمٌ قَدَّمَهُ لِأَهْلِهِ لَيْسَ مِنْ النُّسُكِ فِي شَيْءٍ
Dan barang siapa yang telah menyembelih (sebelum shalat), maka sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi keluarganya, bukan termasuk hewan kurban sedikitpun.” (HR. Muslim).
Diperbolehkan untuk menunda penyembelihan hewan kurban, pada hari kedua dan ketiga setelah hari Ied. Dan batas akhir penyembelihan adalah hari tasyriq yang terakhir, sebagaimana diterangkan dalam hadits dari Jubair bin Muth’im bahwasanya beliau saw bersabda :
كُلُّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبْحٌ
“Setiap hari tasyriq ada sembelihan.” (HR. Ahmad).

TEMPAT MENYEMBELIH
Dalam rangka menampakkan syiar Islam dan kaum muslimin, disunnahkan menyembelih di lapangan tempat shalat Ied, sebagaimana hadis dari Ibnu Umar.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْبَحُ وَيَنْحَرُ بِالْمُصَلَّى
“bahwa Nabi saw: menyembelih di tempat shalat Ied.” (HR. Bukhari).

LARANGAN MEMOTONG RAMBUT DAN KUKU
Orang yang hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Ied.
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong) rambut dan kukunya.” (HR. Muslim).
Larangan memotong kuku dan rambut ini berlaku dengan segala macam caranya, baik dengan gunting atau yang lainnya. Demikian juga dalam hal larangan memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut, mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Larangan di dalam hadis ini difahami oleh para ulama’ sebagai haram. Sebab setiap larangan berfungsi untuk mengharamkan, kecuali apabila ada keterangan lain yang menjelaskan ketidakharamannya. Tetapi kalau ada yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa.”

CARA MENYEMBELIH
Dalam menyembelih binatang diharuskan untuk meminimalisir rasa sakit. Di antara cara yang bisa meminimalisasi rasa sakit adalah dengan pisau yang tajam. Sebagaimana disebukan di dalam hadis
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Sesungguhnya Allah telah menetapkan perbuatan baik (ihsan) atas segala sesuatu . Jika kalian membunuh maka berlakulah baik dalam hal tersebut. Jika kalian menyembelih berlakulah baik dalam hal itu, hendaklah kalian mengasah pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya. (Riwayat Muslim)
Sebelum menyembelih mengucapkan bismillah wallahu akbar, membaringkan sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya, dan menahan lehernya dengan tangan kiri.
أَنَسٍ قَالَ ضَحَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ قَالَ وَرَأَيْتُهُ يَذْبَحُهُمَا بِيَدِهِ وَرَأَيْتُهُ وَاضِعًا قَدَمَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا قَالَ وَسَمَّى وَكَبَّرَ
“Dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor dombanya yang bagus dan bertanduk. Anas berkata, aku melihat beliau menyembelih dengan tangan beliau sendiri dan aku melihat beliau meletakkan kakinya di samping lehernya dan mengucapkan basmallah dan takbir.” (HR. Muslim).
Selain membaca basmalah dan takbir, juga membaca do’a, allahumma hadza ‘an fulan (nama yang berkorban). Tetapi khusus untuk Rasulullah saw, ketika menyembelih menyertakan seluruh ummat beliau, seperti disebutkan di dalam riwayat berikut;
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْأَضْحَى بِالْمُصَلَّى فَلَمَّا قَضَى خُطْبَتَهُ نَزَلَ مِنْ مِنْبَرِهِ وَأُتِيَ بِكَبْشٍ فَذَبَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ وَاللَّهُ أَكْبَرُ هَذَا عَنِّي وَعَمَّنْ لَمْ يُضَحِّ مِنْ أُمَّتِي
Dari jabir bin Abdullah, ia berkata, “Aku mengikuti Rasulullah saw shalat Idul Adha di tanah lapang, setelah selesai berkhutbah beliau turun dari mimbarnya dan mendatangi dombanya, lalu Rasulullah saw menyembelihnya dengan tangan beliau sendiri seraya berkata “Bismillah Wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak menyembelih.” (HR. Abu Dawud)
Berdasarkan hadis di atas pula orang yang berkorban disunnahkan untuk memotong sendiri hewan kurbannya. Tetapi kalau tidak bisa menyembelih sendiri boleh mewakilkan kepada orang lain. Meskipun demikian disunnahkan baginya untuk menyaksikan penyembelihannya dan membaca, inna shalati wa nusuki …

Adapun etikanya secara detail adalah sebagai berikut :
a. Menajamkan pisau dan memperlakukan binatang kurban dengan baik.
Rasulullah bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah mewajibkan perbuatan baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik. Dan jika kalian menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik pula. Hendaklah salah seorang diantara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan (tidak menyiksa) sesembelihannya.” (H.R.Muslim)
b. Menjauhkan pisaunya dari pandangan binatang kurban
Cara ini seperti yang diceritakan Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di dekat leher seekor kambing, sedangkan dia menajamkan pisaunya. Binatang itu pun melirik kepadanya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini (sebelum dibaringkan, pen)?! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali ?!.” (H.R. Ath Thabrani dengan sanad shahih).
c. Menghadapkan binatang kurban ke arah kiblat
Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Ibnu Umar Radhiallahu’anhu.
d. Tata cara menyembelih unta, sapi, kambing atau domba
Apabila sesembelihannya berupa unta, maka hendaknya kaki kiri depannya diikat sehingga dia berdiri dengan tiga kaki. Namun bila tidak mampu maka boleh dibaringkan dan diikat. Setelah itu antara pangkal leher dengan dada ditusuk dengan tombak, pisau, pedang atau apa saja yang dapat mengalirkan darahnya.
Sedangkan bila sesembelihannya berupa sapi, kambing atau domba maka dibaringkan pada sisi kirinya, kemudian penyembelih meletakkan kakinya pada bagian kanan leher binatang tersebut. Seiring dengan itu dia memegang kepalanya dan membiarkan keempat kakinya bergerak lalu menyembelihnya pada bagian atas dari leher. e. Berdoa sebelum menyembelih
Lafadz doa tersebut adalah :
بِسْم اللهَِ الله ُأَكْبَرُ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar.” (H.R.Muslim)
ِسْمِ اللهِ وَالله ُأَكْبَرُاَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ
“Dengan nama Allah dan Allah itu Maha Besar, Ya Allah ini adalah dari-Mu dan untuk-Mu.” (H.R. Abu Dawud dengan sanad shahih)

MEMBAGIKAN DAGING KURBAN
Bagi yang berkorban disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpan sebagian dari dagingnya. Nabi saw bersabda:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, bershadaqahlah, dan simpanlah untuk perbekalan.”(HR.Bukhari Muslim).
Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari kurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging kurban. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari yang berkurban.
عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَقْسِمَ جُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَأَمَرَنِي أَنْ لَا أُعْطِيَ الْجَزَّارَ مِنْهَا شَيْئًا وَقَالَ نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
“Dari Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata: Rasulullah saw memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagi dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari kurban tersebut. Tetapi kami memberinya dari harta kami” (HR. Bukhari Muslim).

KULIT KORBAN
Tentang kulit qurban, Ulama sepakat bahwa kulit qurban boleh diambil oleh orang yang berqurban dan boleh juga dihadiahkan kepada orang lain. Tetapi bukan sebagai upah /imbalan jasa.
Maka bila seseorang meminta jasa orang lain (tukang jagal) untuk disembelihkan hewan qurban miliknya, tetapi dengan imbalan berupa kulit hewan itu menjadi milik tukang jagalnya, maka tidaklah termasuk qurban, sesuai hadits :
من باع جلد أضحية فلا أضحية له - رواه الحاكم وصححه
”Barang siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka tidak ada qurban baginya”. (HR Al-Hakim dan dinyatakan hasan oleh AlBani).
Ali ra. berkata, "Aku diperintah Rasulullah menyembelih kurban dan membagikan kulit dan kulit di punggung onta, dan agar tidak memberikannya kepada penyembelih" (Bukhari Muslim).
Memberikan kulit atau bagian lain dari hewan kurban kepada penyembelih bila tidak sebagai upah, misalnya pemberian atau dia termasuk penerima, maka diperbolehkan. Bahkan bila dia sebagai orang yang berhak menerima kurban ini lebih diutamakan sebab dialah yang banyak membantu pelaksanaan kurban. Bagi pelaku kurban juga diperbolehkan mengambil kulit hewan kurban untuk kepentingan pribadinya. Aisyah r.a. diriwayatkan menjadikan kulit hewan kurbannya sebagai tempat air minum.


MEMBAGIKAN KEPADA NON-MUSLIM
Persoalan ini juga merupakan wilayah yang diperselisihkan di antara para ulama’. Sebagian membolehkan kita memberikan daging qurban untuk non muslim (ahlu zimah), sebagian lainnya tidak membolehkan.
Kalau kita telusuri lebih dalam literatur syariah, kita akan menemukan beberapa variasi perbedaan pendapat, yaitu :

Imam Al-Hasan Al-Basri, Al-Imam Abu Hanifah dan Abu Tsaur berpendapat bahwa boleh daging qurban itu diberikan kepada fakir miskin dari kalangan non muslim. Sedangkan Al-Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya. Al-Laits mengatakan bila daging itu dimasak dulu kemudian orang kafir dzimmi diajak makan, maka hukumnya boleh. Sementara Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa umumnya ulama membedakan antara hukum qurban sunnah dengan qurban wajib. Bila daging itu berasal dari qurban sunnah, maka boleh diberikan kepada non muslim. Sedangkan bila dari qurban yang hukumnya wajib, hukumnya tidak boleh.
Previous
Next Post »
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();